Jumat, 28 Oktober 2011

ANDI HAKIM NASUTION : Sang Pencerah Bidang Matematika

Pusing Melihat Pendidikan di Indonesia

Sudah belasan buku yang ditulisnya, beberapa di antaranya masih jadi textbook di Institute Pertanian Bogor (IPB). Tapi Prof. Andi Hakim Nasution mengaku tak akan berhenti menuangkan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku. ‘’Saya tidak punya ambisi apa-apa, kecuali meng-kuantitatif-kan pemikiran anak muda Indonesia, agar punya logika dannalaryang baik,’’ katanya.

Nyaris tanpa publikasi, mantan Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 1978-1987 ini, pernah mendapatkan penghargaan South East Asia Awards, untuk kategori kebudayaan dan pembinaan bangsa. Penghargaan yang di serahkan di China, pada 24 Juni 2000 lalu, di raihnya lewat buku berjudul Al-Qur’an Dan Lingkungan, yang ditulisnya bersama seorang mantan muridnya, Asep Syaefudin.

Andi Hakim, yang mendapatkan gelar professor bidang statistic dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) IPB tahun 1971 ini, mengaku punya obsesi untuk memasyarakatkan matematika. Menurutnya, pengajaran matematika perlu pendekatan yang tepat. ‘’Itu karena matematika memakai proses berfikir dedukatif, tak seperti ilmu alam lain yang pakai metode eksperimental,’’ katanya.
Peraih gelar doctor experimental statistic dari North Carolina State University, Amerika Serikat, ini mengaku sangat kesulitan mencari bibit pelajar yang mumpuni untuk ikut olimpiade matematika. Sebanyak 12 kali ia memimpin tim olimpiade matematika, para pelajar itu harus dibenahi lagi cara berfikirnya, karena kesalahan mengajaryang diberikan guru di sekolah.

Rata-rata pelajar yang dikirim untuk ikut olimpiade matematika, kata Andi Hakim, hanya dapatmungutak-atik rumus, tanpa pehaman atas konsep matematika yang baik. Sekian tahun memback-up para pelajar itu,Andi Hakim akhirnya menemukan kelemahan-kelemahan itu dan memperbaikinya. Pada olimpiade matematika tahun 2001 di Washington, peserta dari Indonesia bisa meraih medali perak.

Andi Hakim lahir di Jakarta 30 Maret 1932. Ia termasuk sebagian anak Indonesia yang beruntung memperoleh pendidikan karena ayahnya, Anwar Nasution, adalah peneliti di Balai Penelitian Penyakit Hewan, Bogor. Ia masuk Hindia Indische School (HIS) Arjuna, Bogor. ‘’Nilai rapor matematika saya waktu itu 4, karena kendala bahasa pengantar,’’ kenangnya.

Saat Jepang masuk Indonesia, dia terpaksa ‘’putus sekolah’’. Tapi di masa vakum itu, ayahnya datang membawa tumpukan buku-buku tentang botani, fisika, matematika, geografi, dan otodidak. Dan ketika sekolah-sekolah kembali dibuka pemerintah Nippon, ia mendaftar di Sekolah Rakyat (SR) 09, Bogor.

Belajar secara otodidak membuat Andi Hakim selalu menjadi lulusan terbaik di SR, SMP, hingga Sekolah Pertanian Menengah Atas ( SPMA). Setelah itu, ia masuk ke Fakultas Pertanian (Fapperta) Universitas Indonesia. Belum lagi lulus dari Fakultas yang merupakan cikal bakal IPB itu, ia diminta mengajar matematika dan statistic di Akademi Pertanian, Ciawi.

Ia mengaku punya pengalaman cukup unik, ketika tahun 1950-an, Dekan Faperta, Prof. Thayib Hadiwijaya memintanya mengajari matematika kepada 90 mahasiswa yang terancam drop out (DO). Hasilnya, dari 90 orang itu, 85 orang lulus. ‘’Beberapa orang yang lulus itu kemdian menjadi menteri, coba kalau saat itu mereka di DO, pasti tak akan menjadi menteri,’’ katanya sambil terbahak.

Peristiwa itu rupanya menarik perhatian senat guru besar IPB. ‘’Kalau dia bisa mengajar seperti itu, kenapa dia tidak ditarik masuk IPB,’’ kata Andi Hakim Nasution menirukan rapat senat. Saat itu, Andi Hakim sudah menjadi pegawai Departemen Pertanian (Deptan), namun lobi pihak IPB ternyata cukup baik. Tak lama kemudian ia ditarik masuk ke IPB sebagai pengajar.

Di lingkungan barunya itu, Andi Hakim melakukan berbagai gebrakan, antara lain mengubah syllabus matematika IPB sepulangnya dari North Carolina State University pada tahun 1965. Ia meletakkan landasan kuantitatif pengajaran matematika, antara lain pengajaran Aljabar Martiks. Ia juga menulis beberapa textbook seperti pengantar ilmu pertanian.

Prestasi-prestasi itu mengartakan Andi Hakim menjadi rector di almamaternya pada tahun 1978 hingga 1987. Sepuluh tahun kemudian, ia menjadi ketua Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telkom, Bandung. Di almamater ini, ia mengaku hendak melakukan berbagai perubahan, tapi selalu terhambat oleh yayasan pengelola lembaga pendidikan itu. ‘’Gagasan saya banyak yang nggak jalan,’’ katanya.

Andi Hakim yang berputratiga ini, mengaku punya empat naskah buku 7ang akan segera diselesaikan. Salah satu naskah itu, katanya, akan diselesaikan dengan seorang anaknya, Dr. Marlina Nasution, yang sedang beljar di North Carolina State University. Sebelumnya, Andi Hakim menulis buku Manusia, Matahari, dan Makanan bersama istrinya, Amini Sukandi Nasution, staf pengajar Faperta IPB.

Ditanya tentang usianya yang akan berpengaruh terhadap produktivitasnya
, Andi Hakim menampik. ‘’A science is always young,’’ kata kakek dua orang cucu ini.

Secara berkelakar, Andi Hakim mengatakan bahwa baginya menulis buku bisa menghemat uang untuk beli obat penurun darah tinggi. ‘’Itu karena saya agak pusing melihat pendidikan di Indonesia,’’ katanya.

Menurutnya, pendidikandi Indonesia akan terus ketinggalan bila NEM dan UMPTN terus jadi parameter. ‘’Dengan patokan itu, para guru tidak lagi mempersoalkan apakah anak didik telah diajarkan tentang disiplin ilmuyang baik, tapi bagaimana mendapat NEM yang tinggi dan lolos UMPTN,’’ katanya. Secara ekstrem, ia menilai fungsi sekolah telah tereduksi.

‘’Kalau NEM yang jadikan patokan, bubarkan saja sekolah, kemudian bentuk menjadi lembaga-lembaga bimbingan tes,’’ katanya Masygul. Karena kesalahan itu, ia menilai hanya 25 persen pelajar di Indonesia yang pantas masuk perguruan tinggi. ‘’Tingkat penguasaan mereka akan bahan pelajaran sangat kurang, karena soal-soal ujian bentuknya pilihan ganda,’’ katanya.

Lantas, dari mana pembenahan itu harus dilakukan? ‘’Jangan dulu main bongkar kurikulum, perbaiki dulu kualitas guru. Sekarang ini banyak guru yang mengajarkan ‘ilmu berenang’, tapi mereka sendiri tidak tahu ‘berenang’, ‘’ katanya dengan mimic serius. Tugas menteri pendidikan dinilainya sangat berat dalam membenahi persoalan itu.

Tidak Berguna Lulusan SMU yang Tidak Kuasai Matematika

Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasution mengungkapkan bahwa tidak ada gunanya menghasilkan lulusan sekolah menengah umum (SMU) yang tidak menguasai matematika untuk dijuruskan ke program-program akademik bidang sains social dan humaniora. Pasalnya, akhir abad ke-20 satu demi satu sains social mulai menunjukkan corak kuantitatif yang diawali dari ilmu ekonomi, psikologi, dan sosiologi. Artinya, ilmu kuantitatif matematika tidak lagi menjadi monopoli sains alam termasuk penerapannya dalam teknologi.

Berbicara pada Lokakarya Pengajaran Statistika Perguruan Tinggi Kawasan Indonesia Barat berjudul ‘’ Menuju Program Akademik Bermutu Melalui Kurikulum Statistika Bermutu’’ di Medan, Kamis (24/4/01), mantan Rektor Institut Pertanian Bogor itu mencontohkan, mutu program akademik universitas di kawasan selatan Amerika Serikat baru melejit setelah semua program mewajibkan statistika sebagai mata kuliah wajib bagi program S-1, magister, maupun doctor.

‘’Setelah bidang ilmu-ilmu social, ilmu kebahasan pun kemasukan cirri kuantitatif. Karena itu, penggolongan ilmu menjadi ‘’ilmu-ilmu eksakta’’ dan ‘’non-eksata’’ kini menyesatkan,’’ tegas Andi Hakim. Alasannya, tidak satu pun ilmu eksperimental yang bersifat eksakta, karena semua kesimpulan masih didasarkan pada pengamatan tidak lengkap. Kemudian, tidak ada ilmu yang dapat dikembangkan tanpa nalar dedukasi. Sedangkan nalar dedukasi bertumpu pada logika dan matematika. Karena itu, kalau ada pemuka ilmu eksperimental yang mnyatakan ilmunya tidak memerlukan pengetahuan dasar matematika, maka ‘’sesungguhnya’’ bidang ilmu itu belum dapat disebut ‘’ilmu’’, tapi masih bentuk kumpulan pengetahuan saja.


Kuliah Bersama

Untuk memperbaiki ilmu matematika maupunh statistika di Sumatera, Kata Andi, perlu dihimpun pakar-pakar yang terswebar di masing-masing wilayah. Setelah itu diadakan kursus breves mengajar matematika dan statistika secara bergulir. Kursus pertama dilaksanakan di universitas yang mampu menyelenggarakan, lalu digilir setahun sekali ke universitas lain.

Untuk kelancaran penyelenggaraan program akademik disuatu universitas, juga sangat bergantung pada penguasaan materi guru matematika di SMU yang jadi sumber pemasok mahasiswa. Karena itu , universitas harus peduli atas kemampuan mengajar guru-guru SMU di lingkungannya 








0 komentar:

Posting Komentar